Ini diculik dari blognya Haryo
Anak Mall
Di Pontianak, Leavy, wartawan Pontianak Pos sering mengejek saya sebagai anak mall. “Budak-budak (anak-anak, maksudnya) lain masih liputan, Haryo sudah di mall. Cemane tu,” ujar dia.
Awalnya, Mal Gajah Mada merupakan target utama. Namun seiring hijrahnya Toko Buku Gramedia ke Mega Mall, maka saya lebih sering menyambangi mal itu. Lebih sering? Maksudnya sering sekali, seminggu bisa empat kali.
Di mal, saya paling sering beli buku, beli CDs, nonton film, hingga belanja di hypermart untuk membeli makanan—yang biasanya dijarah Leavy juga. Buat saya, mal adalah oase dalam menjalani tugas di Pontianak. Mohon maaf, tapi segalanya tersedia. Di Pontianak, mal juga jadi melting pot utama, penuh sesak, ketika… kabut asap menyelimuti kota.
By the way, sembari membereskan kertas-kertas di meja kerja, saya menemukan fotokopian Catatan Pinggir Majalah Tempo, 13 Mei 2007, yang ditulis Goenawan Mohammad, judulnya singkat, “Mall”. Buat saya, tulisan ini luar biasa! Anda akan sependapat dengan saya….
MALL (oleh Goenawan Mohammad)
Jika tuan berdiri di salah satu sudut Senayan City, tuan akan tahu bagaimana malam berubah sebagaimana juga dunia berubah. Di ruangan yang luas dan disejukkan pengatur udara, cahaya listrik tak pernah putus. Iklan dalam gambar senantiasa bergerak, bunyi musik menyusup lewat ratusan iPod ke bagian diri yang paling privat, dan lorong-lorong longgar itu memajang bermeter-meter etalase dengan busana dan boga.
Sepuluh, bukan, lima tahun yang lalu, malam tidak seperti ini. Juga dunia, juga kenikmatan dan kegawatannya.
Hari itu saya duduk minum kopi di salah satu kafe di salah satu mall di Jakarta, dan tiba-tiba saya merasa bodoh: saya tak tahu berapa mega-kilowatt listrik dikerahk an untuk membangun kenikmatan yang tersaji buat saya hari itu. Saya merasa bodoh, ketika saya ingat, pada suatu hari di Tokyo, di tepi jalan yang meriah di Ginza, teman saya, seorang arsitek Jepang, menunjukkan kepada saya mesin jajanan yang menawarkan Coca-Cola dan kripik kentang. "Tahukah Tuan," tanyanya, "jumlah tenaga listrik yang dipakai oleh mesin jenis ini di seluruh Jepang?
Saya menggeleng, dan ia menjawab, Jumlahnya lebih besar ketimbang jumlah tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bangladesh.
Ia berbicara tentang ketimpangan, tentu. Ia ingin saya membayangkan rumah-rumah sakit yang harus menyelamatkan nyawa manusia di sebuah negeri miskin yang ternyata tak punya daya sebanyak 10 buah mesin jajanan di negeri kaya mesin yang menawarkan sesuatu yang sebetulnya tak perlu bagi hidup manusia.
Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung berapa kilowatt energi yang ditelan oleh sebuah mall di Jakarta, di mana saya duduk minum kopi dengan tenang, mungkin saya akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah kabupaten nun di pedalaman Flores .
Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orang tahu, ketimpangan seperti itu hanya satu fakta yang gawat dan menyakitkan. Ada fakta lain: kelak ada sesuatu yang justru tak timpang, sesuatu yang sama: sakit dan kematian.
Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya dan kalangan miskin, tapi bumi yang dikuras adalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak karena polusi ada di atas bumi yang satu, dengan akibat yang juga mengenai tubuh siapa saja termasuk mereka yang tak pernah minum kopi dalam mall, di sudut miskin di Flores atau Bangladesh, orang-orang yang justru tak ikut mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.
Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi ada pemerataan dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang dan air laut yang menelan pulau ketika bumi memanas dan kutub mencair. Orang India, yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi 0,5 kW, akan mengalami bencana yang sama dengan orang Amerika, yang rata-rata menghabisi 11,4 kW.
"Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia," kata teman Jepang itu pula, "terlalu sulit, terlalu sulit." Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negerinya.
Saya dengar ia hidup di sebuah dusun di negeri di Amerika Latin, membuat sebuah usaha kecil dengan mengajak penduduk menghasilkan sabun yang bukan jenis detergen, mencoba menanam sayuran organik sehingga tak banyak bahan kimia yang ditelan dan dimuntahkan. Tapi kata-katanya masih terngiang-ngiang, "terlalu sulit, terlalu sulit."
Mungkin memang terlalu sulit untuk menyelamatkan dunia. Saya baca hitungan itu: dalam catatan tahun 2002, emisi karbon dioksida dari seluruh Amerika Serikat mencapai 24% lebih dari seluruh emisi di dunia, sedangkan dari Vanuatu hanya 0,1%, tapi naiknya permukaan laut di masa depan akibat cairnya es di kutub utara mungkin akan menenggelamkan negeri di Lautan Teduh itu dan tak menenggelamkan Amerika.
Ingin benar saya tak memikirkan ketidakadilan dunia, tapi manusia juga menghadapi ketidakadilan antargenerasi. Mereka yang kini berumur di atas 50 tahun pasti telah lama menikmati segala hal yang dibuat lancar oleh bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi mungkin sekali mereka tak akan mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami mereka yang kini berumur 5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar, emisi C02 yang akan datang dari Cina bakal dua kali lipat emisi dari seluruh wilayah Amerika, Kanada, Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi anak cucu kita?
"Terlalu sulit, terlalu sulit," kata teman Jepang itu.
Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak. "Lebih layak" adalah sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus diperlihatkan mereka yang kaya . Kini satu miliar orang Cina dan satu miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin juga baju Polo Ralph Lauren dan parfum Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak, benda-benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang Cina dan India berangsur-angsur mencapai tingkat itu seperempat abad lagi, ada ratusan juta manusia yang selama perjalanan seperempat abad nanti akan memuntahkan segala hal yang membuat langit kotor dan bumi retak. Seperempat abad lagi, suhu bumi akan begitu panas, jalan akan begitu sesak, dan mungkin mobil, lemari es, baju bermerek, dan perjalanan tamasya hanya akan jadi benda yang sia-sia.
Mungkin orang harus hidup seperti di surga. Konon, di surga segala sesuatu yang kita hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu berarti, tak akan ada lagi hasrat. Atau hasrat jadi sesuatu yang tak relevan; ia tak membuat hidup mengejar sesuatu yang akhirnya sia-sia. Tapi akankah saya mau, seperti teman Jepang itu, pergi ke sebuah dusun di mana tak ada mall, tak ada bujukan untuk membeli, dan hidup hampir seperti seorang rahib? Di mall itu, saya melihat ke sekitar. Terlalu sulit, terlalu sulit, pikir saya.
dari: Majalah Tempo Edisi. 10/XXXIIIIIII/ 07 - 13 Mei 2007