Jakarta, Jun 26, 3:05 AM
Menjalani hidup seperti layaknya berlayar. Semua punya perahu masing-masing. Samudera kehidupan yang diarungi, juga tak selamanya tenang. Kadang bergolak. Kadang cuma beriak. Gw pikir, setiap orang dengan perahunya, mempunyai arah sendiri-sendiri. Arah-arah tersebut kadang kala berlimpasan, sehingga satu orang dapat berpapasan dengan orang lainnya.
Semua orang mengarah ke dermaga yang diinginkan. Namun kita tak pernah tahu, apakah dermaga itu persinggahan terakhir. Mengarungi samudera yang tak bisa ditebak, setiap orang ditakdirkan tak menempuhnya sendirian. Tuhan bahkan menjanjikannya berpasang2an. Belakangan, setelah apa yang gw alami. Pada orang-orang tertentu, Tuhan memberikan, akses langsung ke dermaga tujuan. Tanpa transit, tanpa menunggu, tanpa sempat merasakan tertusuk bulu babi di pasir pantai. Hihi, sungguh perumpamaan yang tidak romantis.
Owkey, gw emang lagi-lagi bicara soal cinta nih. Tapi ini hasil kajian otak gw yang cuma dua tetes dan kerjaannya memimpikan kisah cinta ala Harlequin, romantis, panas dan happy ending tentunya, hehehe. Tapi kenyataan tak seperti dogeng Cinderella, sobat. Kalo temen gw hanya sekali pacaran, cinta pertamanya itu kemudian jadi pelabuhan terakhirnya.
Tapi, lagi-lagi Tuhan punya rencana lain buat gw. Seperti yang sudah-sudah. Gw selalu tolol dalam menjatuhkan pilihan dimana bakal berlabuh. Gw juga terlalu tolol untuk memaknai kode bendera dari kapal lain. (kode sesama kapal kan pake bendera, kan? -cemas-) Akibatnya, kapal gw karam atau bocor, karena dermaga tersebut tak aman. Atau bahkan gw mesti terdampar berhari-hari, berbulan-bulan, sebelum memutuskan kembali berlayar.
Kayaknya, Tuhan berencana bikin gw punya pengalaman melaut yang rada lama. Mesti singgah di beberapa dermaga dulu. Sebelum kemudian menemukan dermaga yang tepat, bersama seorang nahkoda, dan berganti bahtera yang lebih besar dan kokoh. Malam ini gw, memutuskan kembali berlayar. Mencari suar yang memandu, untuk singgah di dermaga berikutnya.
....
Hm, owkey. Berlayar lagi harusnya gw siapin logistik yang cukup, juga mental. Nah, sebelnya, mental yang kadang kurang kompak. Kayak hari ini. Mental gw yang asli nyamain tempe bongkrek kembali bikin ulah. Layar sudah terkembang, tapi gw tetep aja masih di ujung dermaga. Menangisi dan mengasihani diri. Merasa tertolak, terhina, dan ta berharga.
Bahkan, di sebuah dermaga sederhana pun, tak satu pun sudi jadi nahkoda perahu gw. Maka gw kembali meratap pada stereotipe perempuan-perempuan yang gemerlap bak bintang.
Seperti saat ini, dengan berpeluh karena rumah kontrakan yang minim aerasi, gw sibuk nyuci piring dan ngisi bak aer. Yah, di pukul tiga lewat ini. Gw belon juga bisa tidur. Ternyata, gw menyadari bahwa gw belon sekuat yang gw kira. Dengan haru biru, gw bertanya2 dalam hati kapan samudera kehidupan yang gw lalui tak lagi bergolak.
Gw emang ngga sempurna. Gw bahkan selalu tampak tolol dimatanya. Gw ngga bisa pura-pura baca buku berat kiat pengembangan diri, atau mengunyah bacaan sastra dan filosofi. Otak gw, seperti milik cw standar lainnya di muka bumi. Gw ngga bisa pura2 suka Karl May, biografi hitler, Robert T Kiyosaki, Rhonda dengan Secret-nya, atau apa aja yang hebat-hebat.
Gw juga gaptek. Gadget2 terbaru, software komputer, ataw harus update antivirus ngga banyak yang tahu. Belon soal gaya gw yang seleboran. Ada seorang temen yang heran banget, karena gw suka nabrak-nabrak apa aja. Meja, kursi, tempat sampah, nyenggol gelas, asbak, nyangkut2 di pintu, hiks...bukan mau gw sih. Karena ngga jarang gw bahkan terluka. Trus, gw baru tahu, kalo tidur, gw lincah banget. Vivi -roommate- gw minta ampun, coz suka kena sikut gw...gimana mo tidur bareng suami yah...?
Tapi gw yakin, diujung belahan bumi. Entah bagian mana, Tuhan udah siapin seseorang, yang terima kekurangan gw. Yang ngga mikir panjang, gimana cara ngerubah gw. Yang bahkan rindu dengan kedodolan gw. Mungkin bukan dia, dia atau dia. Tapi gw yakin ada.